Kali ini aku
benar-benar tidak mampu menutupi kesedihanku dengan senyum palsuku. Wajahku
terasa kaku. Aku tidak bisa menyeringai seperti biasanya. Yang ingin kulakukan
sekarang adalah bercerita tentang aku hari ini padanya. Tetapi aku tidak berani
untuk mengiriminya pesan. Aku takut mengganggunya. Karena akhir-akhir ini dia
jarang datang untuk belajar bersama, kupikir dia punya aktivitas yang lebih
penting daripada ini.
Kuhempaskan tubuhku di
tempat tidur. Hari ini hari yang panjang juga melelahkan. Lapar. Mau makan tapi
badan baunya minta ampun. Akhirnya kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu.
“Eh, Eka, sepatu Eka
udah kakak angkatin. Di dekat tangga tadi kakak letak. Nampak, kan?”, kata
seseorang yang melihatku.
Suaranya yang nyaring membuatku
kaget. Aku yang baru berjalan beberapa langkah keluar dari kamar menuju kamar mandi
langsung tersadar. Aku baru ingat kalau tadi pagi aku mencuci semua pakaianku yang kotor, juga dua sepatu.
“Oh, iya. Jemuran.
Wih... matilah! Basah lagi. Makasih ya, Kak Aulia”, kataku heboh.
Aku langsung bergegas
menaiki anak tangga menuju lantai empat. Ternyata masih gerimis. Hujan hari ini
begitu awet, ya. Pikirku begitu. Bulan dan bintang tidak terlihat. Hanya lampu
gedung-gedung, rumah-rumah, dan lampu jalanan yang menghiasi malam ini. Walau
gerimis, entah mengapa kurasa udara malam ini begitu menyejukkan.
Aku mengangkat semua
pakaianku. Syukurnya hanya sedikit lembab karena ternyata di daerah asrama
hujannya tidak selebat di Sunggal. Saat aku berjalan mendekati pintu, aku
bertemu dengan makhluk Tuhan yang begitu arogan.
“Eh. Lagi ngapain,
Kau?”, sapanya saat melihatku.
“Entah. Entah lagi ngapain Eka ini, Bang”, jawabku datar.
Entah mengapa setiap
kali bertemu dia rasanya kepalaku ini mendadak panas. Bagaimana tidak. Dia
satu-satunya penghuni asrama putra, astra, yang....
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar