Rabu, 07 Februari 2018

Sepuluh Menit di November 2017 Bagian 6

        'Tumben Eka jelas ngomongnya. Biasanya setengah-setengah.' Entah mengapa kalimat ini membuatku ingat pada seseorang yang saat bersamanya aku ingin menjadi kuat.

        “Ih, Kak, awak pingin nikah muda, lho.”
        “Ya ampun, Mi. Kakak nggak masalah nikah muda asalkan suami kakak udah mapan.”
        “Kalian ini, masih lanjut aja obrolannya tentang nikah muda. Wisuda dulu, baru nikah.”

        Mentok sudah pembicaraan kami. 

        “Yaudah, deh. Eka balik ke kamar Eka lah, kalau gitu. Udah tengah malam ini. Besok Eka juga ada acara di kampus”, kataku sambil berdiri lalu berjalan keluar kamar Kak Arin.
        “Ah, awak balik juga, lah. Nanti nggak dapat pintu pula”, kata Ismi mengikuti aku keluar.
        “Iya, adek-adek. Good night, ya”, kata Kak Aulia sambil mengunci pintu kamar.

        Sebelum tidur, akupun mengecek handphone. Siapa tahu ada kabar darinya. Setelah beberapa menit kutelusuri, ternyata tidak ada. Mungkin dia suduh tidur.

-o-

        Ah, jam di handphone-ku menunjukkan pukul 04.27. Teman sekamarku, Kak Rita masih terlelap. Akupun keluar dari kamar lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sepertinya anak astri masih tidur semua. Aku kembali ke kamar lalu mengenakan hijabku. Entah mengapa kakiku dengan ringannya melangkah hingga tanpa sadar aku sudah berada di lantai 4; atap.

        Udara pagi ini begitu sejuk. Terasa embun menjatuhi wajahku. Bintang-bintang masih terlihat, tapi jumlahnya tidak banyak. Dan bulan tidak terlihat.

        “Ya Allah, Eka. Kau harus ke kampus pagi-pagi. Dan jam 7 harus udah nyampe. Ngapain coba jam segini malah ke sini, sih.”
        Aku mengomeli diriku sendiri. Aku bergegas menuju kamarku. Tapi saat berada di lantai 3 aku berpapasan dengan Gea.

        “Astagfirullah! Is, si Eka ini. Kukira entah apa tadi. Suka kali bikin orang kaget.”
        “Hahaha... Gea kira apa? Hantu?”
        “Iya. Hehehe.... Lagian Eka dari mana, sih? Dari atap, kan? Ngapain jam segini ke sana, Ka?”
        “Iya. Nggak ngapa-ngapain, sih. Cuma nyari udara segar doang. Yaudah, Eka balik, ya. Mau mandi.”
        “Iya, Ka.”

        Tidak lama setelah mandi dan mengenakan pakaian ala-ala anak kuliahan, azanpun berkumandang.

        “Kak. Kak Rita. Bangun kak. Udah azan subuh”, kataku membangunkan Kak Rita.
        “Emm... Iya, Dek.”

        Aku keluar kamar lalu mengetuk pintu kamar Kak Arin dan Kak Aulia.

        “Kak Arin. Kak Aulia. Bangun, Kak. Udah azan zubuh. Kak. Kak.”
        “Iya, Dek. Makasih ya”, jawab Kak Arin.
        “Iya, Kak. Sama-sama.”

         Aku juga mengetuk pintu kamar utama; kamar yang penduduknya 6 orang. 

        “Kak. Kak. Bangun, Kak. Udah azan subuh.”

        Tidak ada satupun yang menyahut. Akupun mengetuk pintu kamar itu lagi dan mencoba membangunkan mereka. Tapi tetap tidak ada satupun yang menyahut. Mau mengulang untuk yang ketiga kalinya, eh, ternyata ada yang menghidupkan lampu kamar itu. Karena kupikir sudah ada yang bangun, akupun kembali ke kamarku.

        “Jam 6 kurang 15 menit aku harus udah ke bawah nih, nunggu angkot. Takut pula telat nanti. Mana pagi-pagi macet lagi. Eh, mau kapan pun itu kayaknya jalanan mau ke kampus memang selalu macet, deh”, kataku pada diriku sendiri.Tiba-tiba handphone-ku berdering. Pesan dari Lelya. 
Lelya: Ka, Eka berangkat jam berapa?
Eka   : Rencana jam 6 kurang 15 udah nunggu angkot deh, Lel.
Lelya: Kok cepat kali?
Eka   : Kan naik angkot. Kayak nggak tau aja. Nunggu angkotnya aja lama. Belum lagi di jalannya. Macet. Eh, Lely di mana ini? Udah berangkat?
Lelya: Iya, sih. Ini mau berangkat Ka.
Eka   : Naik apa, Lel?
Lelya: Naik kereta. Lely diantar ayah. Soalnya keretanya mau dibawa kerja.
Eka   : Yah... padahal mau nebeng. Wkwk... :D
Lelya: Ayoklah. Tartig kita. Eka di ban.
Eka   : Ah, makasih Lel. Baik banget deh, kamu.
Lelya: Hahaha... yaudah. Lely berangkat, ya, Ka.
Eka   : Iya, Lel. Take care, ya.
Lelya: Iya. Eka juga.
         Ah, hanya berkirim pesan segitu saja sudah menghabiskan waktu hampir setengah jam. Aku langsung bersiap-siap lalu menuruni anak tangga untuk keluar asrama.

-o-

        Aku sudah berada di seberang asrama untuk menunggu angkot. 

        “Padahal udah hampir jam 6. Tapi masih gelap juga, ya. Dingin pula, tuh. Aih, angkotnya kok nggak lewat-lewat, ya”, aku berbicara sendiri.

        “Woi, Ka! Ngapain kau di situ?”
         Tiba-tiba terdengar suara pria yang tidak asing – Bang Rama.


Bersambung.

Sepuluh Menit di November 2017 Bagian 6

        'Tumben Eka jelas ngomongnya. Biasanya setengah-setengah.' Entah mengapa kalimat ini membuatku ingat pada seseorang y...