Senin, 20 November 2017

Sepuluh Menit di November 2017 (Bagian 1)

        Hujan tak kunjung berhenti mengguyuri Kota Medan, membuat kemacetan semakin parah. Tak ada satupun gadis yang berjalan di bawah derasnya hujan, kecuali aku. Mungkin di pikiran orang-orang aku ini habis putus cinta. Bagaimana tidak. Aku berjalan di bawah derasnya hujan seorang diri sambil menggenggam telepon dengan berlinangan air mata. 

        Petang ini aku masih keluyuran. Walaupun bukan tanpa sebab. Jam pun sudah menunjukkan pukul 17.47 WIB. “Aku mau pulang”, ucapku berkali-kali di dalam hati. Air mataku terus saja mengalir. Pikiranku kosong. Aku bingung apa yang harus kulakukan sekarang.

        “Makanya, jangan keluyuran entah kemana-mana. Anak gadis itu jam 5 sore harus udah ada di rumah”, katanya dengan nada meninggi membuat dadaku semakin sesak. 

        Ya, benar. Itu suara ibuku di via telepon. Beliau memarahiku karena hampir jam 6 sorepun aku belum sampai di asrama.

         Sekarang ini aku berada di Sunggal. Itu alamat yang kutahu. Dan untuk sampai ke asrama, aku tidak tahu harus menaiki angkot nomor berapa. Mau tidak mau aku harus bertanya kepada orang-orang di sekitar sini. Aku bersyukur ada seorang bapak yang memberitahuku setelah sekian banyak orang yang kutanyai mereka menjawab ‘tidak tahu’.

        Sepertinya hujan tidak menghentikan aktivitas orang-orang. Jalanan tetap macet, pasar masih ramai dikunjungi. Dan saking lelahnya aku, bisa-bisanya aku tertidur di angkot. Ya walaapun tertidur di angkot merupakan kebiasaanku yang tidak sengaja aku biasakan. Untung saja aku terbangun saat hampir tiba di asrama.

        Akhirnya aku tiba di asrama tepat sebelum azan Isya. Perutku keroncongan. Aku juga belum memasak nasi. Kuputuskan untuk membeli nasi bungkus di dekat asramaku. Saat aku mau membuka pintu asrama, ternyata kakak asramaku keluar, Kak Widya.

        “Eh, Eka. Dari mana, Dek?”, sapanya ramah.
        “Dari Sunggal, Kak. Abis dari seminar bareng teman”, jawabku sambil mencoba tersenyum.

        Kali ini aku benar-benar tidak mampu menutupi kesedihanku dengan senyum palsuku. Wajahku terasa....

Bersambung. 

2 komentar:

Sepuluh Menit di November 2017 Bagian 6

        'Tumben Eka jelas ngomongnya. Biasanya setengah-setengah.' Entah mengapa kalimat ini membuatku ingat pada seseorang y...