Jujur,
sebenarnya aku begitu malas untuk melakukan hal selain tidur. Aku ingin tidur.
Aku lelah dengan semua hal yang terjadi hari ini. Tapi aku segan untuk menolak
ajakan Kak Aulia dan Kak Arin.
“Okelah”,
jawabku mengiyakan tawaran mereka.
Akupun masuk
ke kamar meraka. Saat aku ingin mengunci pintu kamar, tiba-tiba ada yang
mendobrak paksa pintu itu. Akupun terdorong dan badanku menabrak lemari. Ah,
cobaan apalagi ini.
“Eh, awak
ikutlah”, kata orang yang mendobrak pintu dengan logat khasnya.
“Ya ampun,
Rere. Jangan gitulah, dek. Kasian si Eka. Pelan-pelan kalo mau buka pintu.
Nabrak lemari badannya. Hampir jatuh dia”, kata Kak Arin.
“Eh, Eka. Sorry
lah, Ka. Nggak sengaja. Kirain tadi nggak bakal terdorong gitu.”
“Nggak
apa-apa. Udah maklumnya Eka, Re. Memang gitunya, Rere. Tenaga Rere kan, kayak
banteng.”
Perkataanku
sontak membuat Kak Aulia dan Kak Arin tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha...
banteng. Banteng betina”, kata Kak Aulia menimpali.
“Isss... kan.
Awak bukan banteng, lho”, kata Rere dengan wajah yang cemberut.
“Sama aja
itu.”
“Duh, maaf
lah, Re. Cuma becanda. Maaf kalo keterlaluan.”
Rere hanya
diam. Jelas terlihat dari raut wajahnya dia kesal dengan candaanku. Ah,
lagi-lagi aku salah bicara.
“Udah-udah.
Sinilah kalian. Nonton bareng kita”, kata Kak Arin mencairkan suasana.
Aku dan
Rerepun duduk di kasur Kak Arin. Saat film itu mulai diputar, Kak Arin hanya
main dengan gadgetnya saja. Sedangkan Kak Aulia duduk di kasurnya berfokus pada
laptop lagi. Dia tidak ikut menonton karena dia punya tugas dan harus dikumpul
besok.
Ternyata
filmnya tentang nikah muda. Tentang dua mahasiswa yang... apa, ya? Sulit
dijabarkan. Filmnya ada kok, di Youtube. Judulnya Teman ke Surga. Dari judulnya
saja sudah membuatku tertarik, apalagi isinya. Eak....
Saat film itu
selesai ditonton, terjadilah percakapan yang begitu mengharukan di antara kami
berempat, walau entah dimana letak harunya.
“Ih, awak
jadi pingin nikah muda.”
“Eka juga,
lho, Re.”
“Ya ampun.
Tengoklah Kak Arin. Orang ini masih semester 1 udah pingin nikah.”
“Wah. Kalah
pula kakak yang semester 7, ya.”
“Kalo gitu
Kak Arin duluanlah, Kak. Abis itu Kak Aulia.”
“Ah, kalian
duluanlah abis Kak Arin. Kakak terakhir.”
“Nggak boleh
gitulah, Kak. Nikah, kan, menyempurnakan separuh agama.”
“Tumben Eka
jelas ngomongnya, ya. Biasanya setengah-setengah.”
“Wih, Kak
Arin ini. Suka bener kalau ngomong, ya.”
“Hahaha...
You are so funny, lho, Dek.”
'Tumben Eka
jelas ngomongnya. Biasanya setengah-setengah.' Entah mengapa kalimat ini
membuatku ingat pada seseorang yang saat bersamanya aku ingin menjadi kuat.
Bersambung.
Makin panjang yahh
BalasHapusMakin sukses kedepannya ka
Wah, iya. Aamiin. Mohon doanya, ya. Makasih. :)
HapusNikah mudah nikah kaya iya. 👌
BalasHapusKalimat akhirnya seperti ada bayangan yang menerjang setiap rintangan yang menghalang. 😀
Hahaha... nikah muda bang, bukan nikah mudah. :3 Kalimat akhirnya? Emm...
Hapus